Masa remaja merupakan masa yang cukup kritis dan memiliki emosi yang masih sangat stabil serta sedang mencari jati diri. Masa remaja juga merupakan masa transisi. Pada masa ini, dikatakan sebagai suatu masa yang berbahaya karena pada periode ini, seseorang meninggalkan tahap kehidupan anak-anak, untuk menuju ketahap selanjutnya, yaitu tahap kedewasaan. Seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (2004 : 51) bahwa golongan remaja muda adalah para gadis berusia 13 tahun sampai 17 tahun. Sedangkan bagi laki-laki adalah remaja muda berusia dari 14 tahun sampai 17 tahun. Terlepas dari itu semua, masa remaja ini dirasakan sebagai suatu krisis karena belum adanya pegangan, sedangkan kepribadiannya sedang mengalami pembentukan. Selain itu, masa-masa remaja biasanya bertindak tanpa memikirkan sebab dan akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Mereka hanya tahu senang-senang dan berfoya-foya bersama teman-temannya. Di kota-kota besar di Indonesia, misalnya di Jakarta, acapkali para remaja ini mengalami kekosongan lantaran kebutuhan akan bimbingan langsung dari orang tua kurang atau bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini disebabkan karena keluarga mengalami disorganisasi. Pada keluarga-keluarga yang secara ekonomis kurang mampu, keadaan tersebut disebabkan karena orang tua harus mencari nafkah sehingga tidak ada waktu sama sekali untuk mengasuh anak-anaknya. Sementara itu, pada keluarga yang mampu, persoalannya adalah karena orang tua terlalu sibuk dengan urusan-urusan di luar rumah dalam rangka mengembangkan prestise. Orang tua lebih disibukkan dengan berbagai urusan harta, karier, jabatan, politik, dan kesibukan yang lainnya. Dan pada saat tertentu, orang tua akan menjadi korban karena ulah anak-anaknya sendiri. Kadang-kadang masalah keluarga misalnya perceraian orang tua, ketidakpedulian orang tua, ketegangan dengan keluarga atau ketidakmampuan anak dalam mengikuti pelajaran di sekolah dapat menjadi salah satu pemicu anak melakukan tindakan menyimpang. Nah, dari kondisi yang seperti itulah, yang menyebabkan para remaja ingin keluar dari lingkungan keluarganya dan bergabung dengan teman sebaya (teman sepermainan). Namun yang sangat disayangkan, tidak semua teman sebaya memberikan dampak positif, kadangkala justru teman sebaya memberikan dampak negatif yang dapat menjerumuskan kehal-hal yang tidak semestinya. Sehingga tidak sedikit para remaja pada zaman sekarang yang melakukan tindakan menyimpang.
Menurut Robert M. Z. Lawang tindakan menyimpang (deviation) adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
Perilaku menyimpang juga dapat diartikan sebagai tindakan penyimpangan terhadap kaidah-kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat (Soerjono Soekanto).
Terjadinya deviation atau tindakan menyimpang kadang-kadang dianggap sebagai pertanda bahwa struktur sosial perlu diubah. Hal ini merupakan suatu petunjuk bahwa struktur yang ada tidak mencukupi dan tidak menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan yang terjadi (Soerjono Soekanto 1982 : 193). Oleh karena itu, masalah perilaku menyimpang hendaknya jangan kita pandang dengan kaca mata sendiri. Akan tetapi, harus ditelaah dari sudut pendekatan yang netral agar benar-benar diketahui segi positif dan negatifnya. Tanpa melakukan itu, ada kemungkinan suatu tindakan menyimpang yang ternyata negatif dibiarkan saja sehingga tidak mustahil menjadi suatu pertentangan.
Suatu masalah digolongkan sebagai masalah sosial oleh para ahli belum tetntu dianggap sebagai masalah sosial oleh masyarakat. Sebaliknya ada juga masalah-masalah yang dianggap sebagai masalah sosial oleh umum tetapi tidak dianggap sebagai masalah sosial oleh paa ahli. Menurut Nisbet (dalam Widjaja, 1986: 62), yang membedakan masalah-masalah sosial dari masalah lain adalah bahwa masalah-masalah sosial selalu ada kaitannya yang dekat dengan nilai-nilai moral dan pranata-pranata sosial, serta selalu ada kaitannya dengan hubungan-hubungan manusia dengan konteks-konteks normatif dimana hubungan-hubungan itu terwujud.
Para Sosiolog dengan teori sosiologinya berpendapat, bahwa penyebab dari tingkah laku sosiopatik (menyimpang) adalah murni sosiologis atau sosio psikologis. Definisi gejala sosiopatik menurut kaum sosiolog adalah tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan serta norma umum,yang ada pada satu tempat dan waktu tertentu sangat ditolak sekalipun tingkah laku tersebut ditempat dan waktu lain bisa diterima oleh masyarakat lain (Sudarsono, 2004: 78).
Tindakan menyimpang apabila dibiarkan secara terus menerus akan menjadi suatu tindakan kejahatan. Secara ideal, sesuatu perilaku tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur sebagai berikut (Ninik dan Yulius, 1987: 43) pertama, suatu perilaku disebut kejahatan haruslah terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian. Kedua, kerugian tersebut haruslah dilarang oleh undang-undang dan harus dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana. Ketiga, membiarkan sesuatu perbuatan yang sembrono yang dapat merugikan. Keempat, mens rea atau maksud jahat harus ada. Kelima, harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan satu hubungan kejadian antara mens rea dengan conduct (perilaku). Keenam, harusa ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-undang misconduct yang voluntair (dilakukan sendiri, bukan dipaksa orang lain). Ketujuh, harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.
Salah satu tindakan menyimpang yang sering dilakukan oleh para remaja pada era sekarang ini ialah penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba juga merupakan suatu tindakan kejahatan. Permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia terus meningkat dari tahun ketahun. Peningkatan kasus penyalahgunaan narkoba dari tahun ketahun membutuhkan kerjasama antara pemerintah yang terkait dengan masyarakat sekitar untuk memberantas narkoba. Tanpa adanya kerjasama yang baik antara pemerintah terkait dengan masyarakat sekitar, pemberantasan narkoba tidak akan berjalan optimal. Ancaman bahaya penyalahgunaan narkoba di Indonesia kian meningkat dan mengarah pada para remaja pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari angka kenaikkan kasus peredaran gelap dari tahun 2001 dan 2006. Berdasarkan hasil survey Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2006 diperoleh data bahwa pelaku tindak kejahatan narkoba dari tahun 2001 dibandingkan dengan data tahun 2006 terdapat perbedaan angka yang sangat signifikan. Pelaku Sekitar 1.5 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa telah menjadi pengguna dan penyalahgunaan serta peredar gelap narkoba. Sebagian besar korban penyalahgunaan narkoba adalah kalangan generasi muda, termasuk pelajar yang masih duduk dibangku mulai SD, SMP, SMA, dan Mahasiswa. Data BNN (Badan Narkotika Nasional) pada tahun 2001 dan tahun 2006 menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana narkoba dikalangan siswa SD sebanyak 246 kasus meningkat menjadi 3.247 kasus pada tahun 2006. Ditingkat SMP dari 1.832 kasus meningkat menjadi 6.632 kasus pada tahun 2006, sedangkan pada tingkat SMA dari 2.617 kasus meningkat menjadi 20.977 kasus ditahun 2006. Angka-angka tersebut menggambarkan bahwa remaja khususnya para pelajar merupakan target sasaran yang paling mudah bagi peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Berbagai upaya untuk mengurangi penyalahgunaan narkoba, razia kedisiplinan siswa, seminar bagi pengurus OSIS, dan lomba karikatur serta upaya lain telah dilakukan oleh pemerintah.
Peredaran narkoba tidak hanya merambah pada masyarakat menengah ke atas, tetapi juga terjadi pada masyarakat menegah ke bawah. Faktor yang mendorong penyalahgunaan narkoba pada remaja tidak hanya disebabkan oleh “broken home”, tetapi sudah menjadi suatu kesenangan dan untuk terkenal serta pergaulan bebas.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya penyalahgunaan narkoba pada seseorang, sangat berkaitan dengan adanya interaksi seraingkaian faktor resiko (risk factors) dan faktor pelindung (protective factors) yang terdapat pada individu itu sendiri seperti misalnya: keadaan keluarga/rumah, teman sebaya, lingkungan sekolah, lingkungan sekitar, dan lingkungan masyarakat itu sendiri.
Faktor resiko adalah setiap kondisi negatif yang terdapat dalam diri seseorang yang berpotensi memunculkan keinginan menyalahgunkan narkoba, sedangkan faktor peindung adalah setiap kondisi positif yang terdapat pada diri seseorang yang berpotensi untuk menekan keinginan menyalahgunakan narkoba. Keseimbangan dari dua faktor positif dan negatif inilah yang mampu menekan atau memunculkan keinginan seseorang untuk menyalahgunakan narkoba.
source :
source :
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Widiyanti, Ninik dan Yulius Waskita. 1987. Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya. Jakarta: Bina Aksara
Gunawan, Ary. 2000. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Waridah, Siti, dkk. 2001. Sosiologi 2 untuk kelas XII SMA. Jakarta: Bumi Aksara
Djamarah, Syaiful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta
Sudarsono. 2004. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta
Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Keluarga Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta
Salim, Agus. 2007. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Universitas Negeri Semarang Press
Taupan, M. 2008. Sosiologi Bilingual. Bandung: Yrama Widya
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
1 komentar:
agar pembaca meyakini kebenaran artikel yang dibuat sebaiknya dicantumkan sumber yang jelas pada artikel ini selain itu juga perlu mencantumkan sumber kutipan yang anda buatcantumkan pada artikel ini. terima kasih
Posting Komentar