Sabtu, 21 Januari 2012

Mengenal Kenakalan Anak/ Remaja

Istilah kenakalan berasal dari kata dasar “nakal” (bahasa Jawa), yang secara nominal/ harfiah muncul dari kata “anak nakal” artinya “ada akal atau timbul akalnya”. Seorang anak kecil yang mulai timbul akal pikirannya memiliki semangat ingin tahu yang besar untuk menirukan, misalnya ikut mengambil gelas atau piring dari atas meja, tetapi karena kurang kemampuannya dan belum terpikirkan akibat-akibatnya ia dapat menjatuhkan gelas/ piring yang diraihnya tersebut sehingga pecah berantakan. Akibat hal yang tak terpikirkan tersebut, ia bisa kena marah karena dianggap melanggar norma sosial (memecahkan, merugikan), bahkan kadang-kadang terpaksa dicubit oleh ibunya dan bila berulang kali dilakukan ia akan mendapat predikat “anak nakal”.
Menurut Prof. DR. Fuad Hasan, “Delinquency” (kenakalan) ialah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bila dilakukan oleh orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan. Perbuatan-perbuatan tersebut antara lain:
     a.       Ngebut, yaitu mengendarai kendaran dengan kecepatan yang melampaui kecepatan maksimum yang ditetapkan, sehingga dapat megganggu/ membahayakan pemakai jalan yang lain (kecepatan maksimum di dalam kota adalah 20-40 km/jam).
      b.      Peredaran pornografi di kalangan pelajar, baik dalam bentuk gambar-gambar cabul, majalah, dan cerita porno yang dapat merusak moral anak, sampai peredaran obat-obat perangsang nafsu seksual, kontrasepsi, dsb.
      c.       Anak-anak yang suka membuat pengrusakan-pengrusakan terhadap barang-barang atau milik orang lain, seperti mencorat-coret yang mengganggu keindahan lingkungan, mengadakan sabotase, dsb.
d.      Membentuk kelompok atau geng dengan norma yang menyeramkan, seperti kelompok bertato, kelompok pakaian yang acak-acakan, dsb.
      e.       Berpakaian dengan mode yang tidak selaras dengan selera lingkungan, sehingga dipandang kurang sopan dimata lingkungannya.
      f.       Anak-anak yang senag melihat orang lain celaka akibat ulah dan perbuatannya, seperti membuat lobang atau menabur paku di jalan-jalan, sehingga banyak pengendara yang terperosok atau bocor kendaraannya.
g.      Mengganggu/ mengejek orang-orang yang lewat di depannya, dan kalau menoleh/ marah sedikit saja dianggapnya membuat gara-gara untuk dikerjain, dan masih banyak yang lainnya.
Beberapa Penyebab Kenakalan
Gejala kenakalan timbul dalam masa pubertas/ pancaroba, dimana jiwa dalam keadaan labil, sehingga mudah terpengruh oleh lingkungan sekitar. Seorang anak tidak secar tiba-tiba menjadi nakal, tetapi menjadi nakal karena beberapa saat setelah dibentuk oleh beberapa lingkungan, diantaranya:
     a.       Lingkunga keluarga yang pecah, kurang perhatian, kurang kasih sayang, keran masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri (mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari).
     b.      Situasi (rumah tangga, sekolah, masyarakat) yang menjemukan dan membosankan, padahal tempat-tempat tersebut seharusnya merupakan faktor penting untuk mencegah kenakalan bagi anak-anak (termasuk lingkungan yang kurang rekreaftif).
     c.       Lingkungan masyarakat yang kurang/ tidak menentu agi prospek kehidupan masa mendatang, seperti masyarakat yang penuh spekulasi, korupsi, manipulasi, gosip, isu-isu negatif, perbedaan terlalu mencolok antara si kaya dan si miskin, dsb.
Gejala-gejala Kenakalan
Gejala tingkah laku anak yang memperlihatkan atau menjurus pada perbuatan kenakalan harus dapat dideteksi sedini mungkin, sebab bila tingkah lakunya sudah melewati batas, maka akhirnya anak tidak mampu menghadapi dirinya sendiri dalam hidup bermasyarakat yang sehat. Adapaun gejala-gejala yang mengarah pada kenakalan antara lain:
     a.       Anak yang selalu menyendiri karena tidak disukai oleh teman-temanya (terkucilkan) dapat menderita gangguan emosi, karenanya ia butuh perhatian yang agak khusus dari orang tua, guru atau anggota masyarakat di sekitarnya.
      b.      Anak-anak yang sering menghindarkan diri dari tangggungjawab di rumah/ sekolah.
      c.       Anak yang sering mengeluh/ resah karena mengalami masalah yang tidak terpecahkan oleh dirinya sendiri sehingga akibatnya dapat terbawa pada goncangan emosi yang berlarut-larut.
      d.      Anak yang sering berprasangka bahwa orang tua/ guru-guru mereka bersikap tidak baik terhadapnya dan sengaja menghambat dirinya.
      e.       Anak yang mengalami fobia dan gelisah yang kelewat batas, sehingga berbeda dengan ketakutan anak-anak normal lainnya.
     f.       Anak yang tidak sanggup memusatkan perhatian/ pikiran mereka (berkonsentrasi) karena adanya goncangan emosi pada dirinya.
      g.      Anak yang sering menyakiti dan menggangu teman-temannya, baik dirumah maupun di sekilah.
      h.      Anak yang suka berbohong atau berkata palsu/ menipu.
      i.        Anak yang meras tidak dihargai hasil karyanya/ usahanya, karena orang dewasa telah menetapkan tujuan yang terlalu sukar untuk dicapai anak.
      j.        Anak yang suka membolos karena malas belajar atau tidak menyukai mata pelajaran tertentu.


Source : Sosiologi Pendidikan “ Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan” (Drs. Ary H. Gunawan)

»»  Read More...

Rabu, 18 Januari 2012

Komunitas Pecinan di Kota Semarang

 Masyarakat Tionghoa merupakan warga pendatang yang bertempat tinggal, menetap atau menjalankan usaha dalam suatu wilayah berdasarkan etnisitas yang dikenal sebagai Pecinan. Sebutan masyarakat Tionghoa adalah sebutan untuk warga keturunan Cina yang sudah lama menetap di Indonesia, sedangkan masyarakat pribumi adalah penduduk asli yang bertempat tinggal dan sudah berada di suatu wilayah secara turun-temurun. Karena mereka hidup dalam suatu lingkungan yang berdekatan maka mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain.
Kawasan Pecinan Semarang merupakan kawasan pemukiman masyarakat Cina yang telah datang secara berangsur-angsur ke Semarang sejak bebrapa abad yang lalu. Kawasan Pecinan selain dihuni oleh sebagian besar warga keturunan Cina, juga dihuni oleh warga pribumi (etnis Jawa). Warga Pecinan, baik dari etnis Cina maupun Jawa telah berinteraksi dalam dalam waktu yang lama.
Dalam hal ini, untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai beberapa aspek yang ada pada masyarakat pecinan, kami melakukan observasi dan wawancara secara lebih mendalam di beberapa lokasi, antara lain di gang Lombok dan gang besen tepatnya di daerah pekojan Semarang. Observasi dilakukan pada hari rabu tanggal 21 Desember 2011, berikut ini adalah beberapa aspek yang ada dalam masyarakat pecinan yang berhasil kami peroleh melalui observasi. Aspek-aspek tersebut  meliputi startifikasi sosial, sistem kekerabatan, bahasa, dan symbol.
1.      Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Pecinan
Stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaaan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial secara vertical yang diwujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Munculnya stratifikasi sosial dalam masyarakat pecinan awalnya dipengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Pemerintah colonial memberikan status warga Cina  sebagai warga  ”Timur Asing yang menempatkan status warga etnis Cina lebih tinggi dari warga pribumi, tidak terkecuali di lingkungan masyarakat Pecinan Semarang.
a.      Startifiasi social yang terjadi pada zaman colonial Belanda
Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda telah terdapat etnis Tiong hoa yang hidup di Indonesia. Etnis Tiong hoa pada saat itu datang ke Indonesia untuk berdagang. Dengan mempertimbangkan pengaruh mereka yang besar dalam perekonomian, kemudian pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk memisahkan kebersamaan antara etnis Tiong hoa dengan masyarakat pribumi karena takut apabila masyarakat pribumi dan etnis Tiong hoa bersatu akan membahayakan posisi pemerintahan Belanda. Pemerintahan Belanda juga memberikan keistimewaan kepada etnis Tiong hoa untuk berdagang secara bebas sedangkan membatasi masyarakat pribumi untuk berdagang bahkan bertani ataupun dalam hal mengenyam pendidikan.
b.      Awal mula stratifikasi social di Pecinan Semarang
Interaksi di kampung pecinan yang  mayoritas adalah etnis  tionghoa mengakibatkan munculnya beberapa  masalah dengan  kaum  pribumi yang bertempat tinggal di sekitarnya. Salah satu masalah yang ada adalah stratifikasi social antara masyarakat etnis tionghoa dengan masyarakat pribumi.  Stratifikasi social adalah sistem perbedaan status yang berlaku di masyarakat. Perbedaan status ini biasanya dilihat dari sisi ekonomi ataupun dari keturunan. Stratifikasi  juga berlaku di kawasan pecinan. Berikut awal mula terjadinya stratifikasi social di Daerah Pecinan Semarang:
  • Stratifikasi social yang ada di daerah ini muncul pertama kali pada masa Zaman Penjajahan Belanda. Stratifikasi social ini muncul karena latar belakang kepentingan politik pada masa itu. Pemerintah Belanda pada saat itu membeda-bedakan antara etnis China dengan Kaum Pribumi. Mereka membuat hubungan kaum pribumi dengan etnis Tionghoa yang pada saat itu baik menjadi ada jarak di antara mereka. Pemerintahan belanda khawatir jika kaum pribumi dan etnis tionghoa bersatu akan membahayakan keberadaan mereka di kota Semarang . Pada waktu itu pemerintah kolonial Belanda mengkotak-kotakkan kaum pribumi dengan etnis Cina, serta mengistimewakan masyarakat etnis Cina sehingga menimbulkan kecemburuan sosial antara masyarakat pribumi dengan etnis Cina.
  • Stratifikasi sosial pada masa Penjajahan Belanda berlanjut pada masa Orde Lama. Pada masa orde lama motif stratifikasi  hampir sama dengan pada masa penjajahan Kolonial Belanda yaitu kepentingan politik. Politik ini dibuat seakan-akan stratifikasi muncul dari dalam etnis tionghoa. Pada saat itu presiden Soekarno mencetuskan Nasakom yang mengakibatkan Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok nasionalis, agamis, dan komunis. Karena Indonesia punya hubungan diplomatic dengan Cina yang Notabena ialah Negara komunis maka banyak golongan nasionalis dan agamis membenci Cina sampai kepada etnis  Cina yang telah berada di Indonesia.
  • Stratifikasi sosial pada masa orde baru juga hampir sama dengan masa-masa pemerintahan sebelumnya, bahkan jauh lebih parah. Hal ini dikarenakan pada masa ini etnis tionghoa sama sekali tidak  bebas dalam menjalankan aktifitasnya sebagai seorang warga negara, bahkan saat beribadah  pun mereka harus sembunyi-sembunyi. Dan mereka harus memeluk agama yang diakui di Indonesia seperti Kristen ataupun Khatolik hal itu dikarenakan kepercayaan Kong Hu Chu dianggap sebagai komunis oleh pemerintah Indonesia.
  • Stratifikasi Sosial pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid mulai dihapuskan. Masyarakat Pecinan mulai terbuka kembali untuk beraktifitas kembali seperti sedia kala. Mereka diijinkan untuk melakukan interaksi dengan kehidupan luar tanpa hauru takut untuk dicekal sebagai kaum komunis. Mereka juga diperbolehkan untuk menunjukkan kebudayaan mereka. Mereka juga diperbolehkan untuk menganut agama sesuai dengan ajaran leluhurnya, menyelenggarakan upacara-upacara peribadatan dengan tata cara China. Walaupun pada awal dijinkannya Kebudayaan Tionghoa untuk hadir di masyarakat, masyarakat Etnis tionghoa masih merasa takut. Mereka takut untuk memunculkan kembalikebudayaan mereka karena trauma dengan peristiwa anti etnis china yang terjadi pada masa orde lama.
c.       Stratifikasi social masyarakat pecinan Semarang pada saat ini
Tidak dapat dipungkiri, stratifikasi sosial yang berlaku dalam sebuah masyarakat akan menimbulkan sebuah perubahan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.  Meskipun kita telah tahu banyak tentang perubahan sosial yang ada di Pecinan semarang, di sisi lain kita juga belum mengetahui tentang perubahan itu sendiri.
Struktur sosial pada setiap masyarakat pada dasarnya berbeda-beda, dan dalam hal ini masyarakat Cina Klasik bersifat cenderung kaku dan stabil. Menurut seorang warga di daerah pecinan yang berhasil kami wawancarai, yakni bernama Ibu Londo (52 tahun), menuturkan  bahwa masyarakat pecinan saat ini sudah tidak begitu mengenal stratifikasi. Mereka menganggap semua sama. Sehingga tidak ada stratifikasi dalam  mereka berinteraksi satu dengan yang lain. Interaksi tanpa memandang kasta juga berlaku saat mereka berinteraksi dengan masyarakat pribumi. Karena rata-rata masyarakat yang ada di daerah pecinan saat ini merupakan tionghoa keturunan dan mereka merupakan keturunan yang ke-4, ke-5, ke-6.
Dalam hal ini tampak bahwa stratifikasi social yang ada di pecinan saat ini tidak seradikal pada masa zaman penjajahan belanda, masa orde lama, ataupun masa orde baru. Stratifikasi social saat ini yang terjadi di pecinan kami melihatnya lebih kepada perbedaan status ekonomi yang terlihat sangat mencolok. Di satu daerah berjejer toko emas yang begitu ramai tapi di daerah lain di pecinan ada juga warga yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Mayarakat pribumi yang ada di kawasan pecinan Semarang  hanya sekitar kurang lebih sebesar 15% dari total penduduk yang ada di Pecinan. Rata-rata dari mereka bermata pencaharian sebagai pekerja di toko-toko yang ada di kawasan pecinan. Sebagian dari mereka juga ada yang memiliki toko-toko tetapi hanya sebagian kecil, dan itupun tidak sebesar toko-toko yang dipunyai oleh orang tionghoa .Gambaran seperti tersebut kami temukan ketika mulai memasuki gang Besen di kawasan Pecinan daerah Pekojan Semarang.
Selanjutnya, ketika berbicara mengenai ras, sesungguhnya memiliki kaitan yang sangat erat dengan system  sosial yang berlaku di dalam masyarakat pecinan. Sistem sosial yang banyak dibicarakan  adalah  terkait keberadaan  mereka ditengah tengah kaum pribumi, kepekaan mereka terhadap kehidupan social dan perbandingan mereka secara fisik dengan kaum pribumi.
Pada awalnya, ada kecemburuan yang ditimbulkan oleh kaum pribumi, mengingat kehidupan social kaum Tionghoa yang lebih terkesan mewah, rata-rata termasuk kalangan ekonomi menengah keatas, dan menempati kawasan kawasan yang elite di kawasaan Pecinan. Sampai-sampai, sector-sektor penting pun dikuasai secara besar-besaran oleh kaum Tionghoa di sekitar kawasan Pecinan. Kami melihat bahwa hal ini merupakan sebagai bagian dari kepribadian masyarakat Cina itu sendiri, yang menurut kami merupakan sebagai masyarakat yang tergolong rajin dalam hal mencari dan meningkatkan taraf hidup untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Sejarah masa lalu, sebenanrnya juga sangat mempengaruhi. Yang paling kentara adalah sentimen rasial di Tionghoa pada tahun 1980 yang secara garis besar bersumber pada masalah ekonomi yang tidak merata. Etnis Tionghoa yang memiliki jiwa dagang yang ulet, pekerja keras, pola pikir yang memiliki harapan ke depan, itu juga yang membuat sentimen-sentimen itu muncul. Pada dasarnya, prinsip yang dianut kaum Tionghoa, bisa  diterapkan oleh orang Indonesia, dan tidak seharusnya menimbulkan sentimen rasial. Kehidupan orang dari segi sosial  kaum manapun sebenarnya bias diubah dengan menerapkan prinsip-prinsip yang baik, dan jangan menjadi penganut semboyan “ nriman ing pandum”.
2.      Sistem Kekerabatan Masyarakat Pecinan
Berdasarkan hasil wawancara, observasi, serta studi pustaka yang telah kami lakukan, kami memperoleh banyak informasi mengenai sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat tionghoa, khususnya informasi mengenai sistem kekerabatan yang terjadi pada masyarakat tionghoa masa lampau (disebut dengan tionghoa totok). Informasi yang kami peroleh menunjukkan bahwa  dinamika dalam keluarga Tionghoa totok mengikuti pola gerak alam yang mengandung unsur “Yang” dan “Yin”, yaitu unsur-unsur aktif dan unsur pasif sebagai simbol yang mewakili sifat laki-laki dan wanita. Sebagai satu lembaga, keluarga harus mempunyai pimpinan yang akan melindungi dan mengayomi keluarga.
 Dalam hal ini yang mendapat peran sebagai pemimpin adalah ayah. Dengan demikian struktur kekerabatan yang dianut oleh keluarga Tionghoa totok adalah patrilineal. Pada sistem kekerabatan petrilineal nama keluarga atau “She” diturunkan sebagai garis keturunan ayah, sehingga peran ayah dan anak laki-laki sangat penting. Anak laki-laki tertua akan menggantikan kedudukan ayah sebagai kepala keluarga bila ayahnya meninggal dunia, dan dia pula yang akan menerima warisan paling banyak dibandingkan  saudara laki-laki lainnya. Dalam keluarga Tionghoa totok, anak wanita tidak mendapatkan warisan karena setelah menikah dia akan mengikuti dan menjadi tanggungjawab keluarga suaminya. Selain itu yang berhak untuk mengurus dan memelihara abu leluhur serta melaksanakan upacara penghormatan terhadap arwah leluhur adalah anak laki-laki.
           Pernikahan dalam masyarakat Tionghoa merupakan masa yang penting, karena kedewasaan seseorang dilihat dari apakah ia sudah menikah atau belum. Oleh karena itu upacara pernikahan dibuat secara besar-besaran dan mengesankan. Pada masa yang lalu, terutama pada keluarga Tionghoa totok, pernikahan diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Sebelum pernikahan, mereka belum saling mengenal, dan baru mengenal pada saat upacara pernikahan. Namun jenis perjodohan seperti ini sudah jarang terjadi.
          Sebelum hari pernikahan orangtua pihak laki-laki mengantar “ang-pao” yaitu uang yang dibungkus kertas merah yang sering disebut uang susu atau tetek, yang dimaksudkan sebagai uang pengganti biaya selama wanita dalam pengasuhan orangtuanya. Bila pihak wanita orangtuanya kaya atau berkecukupan biasanya menolak secara halus karena takut dianggap menjual anak gadisnya. Bila keluarga wanita kekurangan maka “ang-pao” ini diterima dengan suka cita. Selain “ang-pao” mereka juga membawa barang-barang pemberian yang lain berupa pakaian dan perhiasan.
          Bila wanita menikah dengan anak laki-laki tertua, maka setelah menikah ia sebagai istri harus mengikuti suaminya dan tinggal menetap di rumah orangtua suami (mertua), karena terkait dengan kewajiban suaminya untuk memelihara abu leluhur. Di dalam rumah tangga mertua ini, istri harus patuh dan tunduk mengikuti aturan dan tata tertib yang berlaku. Ia juga harus mendampingi dan membantu suaminya dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai anak terhadap orangtuanya. Wanita yang hidup dalam rumah tangga mertuanya dituntut dapat menyesuaikan diri dan mempunyai rasa toleransi yang tinggi. Proses penyesuaian diri ini seringkali sangat berat karena aturan-aturan yang sangat menekan. Bahkan sering terjadi konflik antara menantu wanita dengan mertua. Walaupun demikian, seburuk apapun hubungan antara  menantu wanita dan mertua, hubungan ini tidak dapat putus karena menantu sudah dianggap sebagai anak oleh mertua. Kelak bila suaminya meninggal ia masih menjadi tanggungan keluarga suami karena ia sudah dianggap sebagai anak sendiri. Seandainya wanita yang sudah menjadi janda ini akan menikah lagi, maka keluarga almarhum suaminya yang akan mengatur dan melaksanakan pernikahan berikutnya.
          Dalam tradisi orang Tionghoa, perceraian sangat ditabukan karena akan mencemarkan keluarga. Kalaupun sampai terjadi perceraian, biasanya karena alasan istri tidak bisa melahirkan anak laki-laki atau istri tidak mau hidup bersama dengan istri muda suaminya dalam satu rumahtangga. Kadang-kadang istri juga menganjurkan suaminya menikah lagi karena tidak bisa melahirkan anak laki-laki. Dalam tradisi Tionghoa, seorang suami hanya boleh mempunyai seorang istri, tetapi disamping istri pertamanya ia juga boleh menikah dengan wanita-wanita lain sebagai istri muda. Tidak jarang istri pertama tinggal bersama-sama dengan istri muda dalam satu rumahtangga. Istri pertama biasanya menjadi istri utama yang mengatur seluruh urusan rumah-tangga dan mendampingi suami dalam kegiatan-kegiatan sosial dan pertemuan-pertemuan keluarga, sedangkan istri kedua bertugas sebagai pembantunya dalam urusan-urusan rumahtangga. Dewasa ini sebagian besar orang Tionghoa menganut sistem perkawinan monogami.
            Sistem kekerabatan masyarakat Pecinan masa sekarang.
Untuk mengetahui informasi mengeai system kekerabatan masyarakat tionghoa di masa sekarang, khususnya di kawasan pecinan semarang, kami melakukan wawancara pada beberapa narasumber. Mereka menuturkan, bahwa bagi masyarakat Tionghoa, keluarga merupakan lembaga inti yang terpenting yang harus dijaga keharmonisannya, karena dalam keluarga akan dilahirkan manusia-manusia yang akan melanjutkan kehidupan. Dalam upaya menciptakan keharmonisan hubungan antara suami dengan istri, ayah dengan anak, kakak dengan adik, mayoritas mereka masih mengadakan acara kumpul keluarga besar secara rutin, minimal satu tahun sekali.
Berbeda dengan golongan Tionghoa totok, golongan Tionghoa peranakan di Semarang lebih akomodatif sikapnya terhadap budaya dari luar lingkungannya, terutama budaya daerah setempat dan budaya barat. Mereka tidak terlalu fanatik mengikuti  dari tanah leluhurnya.
      Struktur kekerabatan pada masyarakat Tionghoa peranakan sudah tidak terlalu berorientasi pada sistem kekerabatan Patrilineal, tetapi sudah menganut sisitem kekerabatan bilateral. Walaupun demikian sistem kekerabatan patrilineal tidak hilang sama sekali. Perubahan ini kemungkinan disebabkan karena golongan Tionghoa peranakan ini sudah berada di Semarang selama kurang lebih 3-4 generasi dan mereka bukan keturunan asli Tionghoa, mereka tidak dilahirkan di Cina dan bukan berasal dari ayah dan ibu asli Tionghoa.
        Dalam keluarga Tionghoa peranakan yang menganut struktur kekerabatan bilateral ada anggapan bahwa kedudukan anak wanita sama pentingnya dengan kedudukan anak laki-laki sehingga tidak menjadi masalah jika dalam keluarga tidak ada anak laki-laki. Anak wanita juga mendapatkan warisan yang sama dengan saudara laki-laki. Dalam keadaan tertentu anak wanita juga mendapat tugas untuk merawat abu leluhur dan melaksanakan upacara-upacara penghormatan terhadap arwah leluhur. Golongan Tionghoa peranakan lebih memilih bentuk keluarga kecil daripada keluarga luas.
       Tradisi pingitan yang berlaku pada golongan Tionghoa totok, tidak berlaku pada golongan Tionghoa peranakan. Wanita-wanita dari golongan Tionghoa peranakan lebih leluasa melakukan kegiatan di luar rumah. Mereka juga mendapatkan pendidikan yang memadai di sekolah-sekolah Tionghoa, di sekolah-sekolah Belanda dan sekolah-sekolah Umum Negeri, bahkan banyak wanita-wanita dari golongan Tionghoa peranakan yang mencapai pendidikan tinggi.
      Dalam masalah pernikahan, keluarga Tionghoa peranakan masih terkait dengan tradisi-tradisi walaupun tidak seketat dan sekaku aturan yang berlaku pada keluarga Tionghoa totok. Pernikahan dalam keluarga Tionghoa peranakan mengikuti aturan-aturan agama yang dianut dan tradisi yang masih berlaku. Walaupun demikian ada beberapa larangan dalam pernikahan yaitu pernikahan antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga atau ‘she” yang sama. Dewasa ini aturan-aturan tersebut sudah mulai mengendur. Sejauh pernikahan itu bukan antara kerabat dekat, walaupun mereka satu “she”, diperbolehkan. Yang perlu diperhatikan adalah larangan wanita menikah dengan laki-laki yang mempunyai hubungan kekerabatan tapi dari generasi yang lebih muda, misalnya anak dari saudara (keponakan) atau anak dari sepupu. Pernikahan antara wanita dengan laki-laki yang sederajat tetapi dari generasi yang lebih tua, misalnya saudara sepupu ibu, diperbolehkan. Aturan-atuiran dalam pernikahan seperti tersebut di atas, menunjukkan bahwa suami dari golongan Tionghoa peranakan tidak menghendaki istrinya lebih tua atau lebih tinggi derajat kekerabatannya tinggi.
      Setelah menikah istri tidak harus tinggal menetap di kediaman orangtua (mertua). Keluarga baru ini bebas menentukan akan tinggal menetap di mana. Apakah mereka akan tinggal di rumah orangtua sendiri, di rumah mertua atau di rumah sendiri. Hubungan kekerabatan dari pihak ibu dan istri sama dekatnya dengan hubungan kekerabatan dari pihak ayah atau suami.
       Dalam keluarga Tionghoa peranakan, keharmonisan keluarga menjadi hal yang sangat diutamakan. Dalam keluarga juga mulai dikembangkan sikap-sikap demokratis. Masalah-masalah penting dalam keluarga  diputuskan berdasarkan musyawarah seluruh anggota keluarga, walaupun keputusan terakhir  ada di tanagn ayah sebagai kepala keluarga. Tidak jarang dalam keluarga Tionghoa peranakan peran ibu lebih dominan dibandingkan dengan ayah. Hal ini bukan berarti berkurangnya rasa hormat ibu terhadap ayah, tetapi ada hal-hal atau masalah-masalah dalam keluarga yang memang kurang dikuasai ayah sehingga diambil alih oleh ibu. Dewasa ini bukan hal tabu lagi bila ayah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik rumah tangga dan ibu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dipandang kasar.
      Perceraian di lingkungan keluarga Tionghoa peranakan sangat dihindari. Kalupun terjadi perceraian, alasannya bukan hanya karena istri tidak bisa melahirkan anak laki-laki, tetapi ada lasan-alasan yang lebih kompleks. Perceraian bisanya diselelsaikan secara kekeluargaan dan sesuai aturan-aturan agama yang dianut. Kecenderungan laki-laki dari lingkungan Tionghoa peranakan untuk melakukan poligami  sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki Tionghoa totok, karena mereka banyak yang sudah menganut agama Katholik atau Kristen, yang tidak membenarkan poligami maupun poligini.
3.      Sistem Bahasa pada Masyarakat Pecinan
Untuk penggunaan bahasa dalam interaksi sehari-hari, masyarakat pecinan lebih dominan menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa jawa. Bahasa cina yang seharusnya menjadi bahasa asli bagi mereka untuk berkomunikasi, kini sudah mulai pudar. Para generasi muda sudah tidak bisa menggunakan bahasa cina. Dalam hal ini, hanya para senior saja yang masih menggunakannya, itupun dalam jumlah yang relative sedikit.
Ketika kami melakukan observasi pada deretan toko-toko, tepatnya di gang besen kawasan pecinan semarang, mereka lebih banyak menggunakan bahasa campuran dalam transaksi perdagangan. Hanya sedikit kata yang diucapkan menggunkan bahasa Cina, seperti kamsia = terimakasih. Selebihnya, mereka lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa jawa.
Untuk penggunaan nama sapa’an, disamping mempunyai nama cina, masyarakat pecinan juga mempunyai nama pendek dalam bahasa jawa dan bahasa Indonesia. Hal ini kami jumpa ketika melakukan wawancara pada beberapa nama sumber, diantaranya yakni : Bu Londo ( memiliki nama cina Nyook Mioo) dan pak Han (memiliki nama cina Ong Kho Tjing). Penggunaan nama sapa’an dalam bahasa Jawa dan Indonesia ini dimaksudkan agar masyarakat Cina dapat dengan mudah membaur dengan masyarakat pribumi. Dengan adanya perubahan nama sapa’an seperti tersebut, maka interaksi antara masyarakat Cina dan pribumi dapat terjalin secara lancar.
4.      Simbol dalam Masyarakat Pecinan
Untuk menggali informasi mengenai symbol-simbol yang ada pada masyarakat pecinan, observasi yang kami lakukan lebih banyak tertuju pada klenteng-klenteng tempat peribadatan.
Dalam membangun klenteng maupun rumah hunian, masyarakat pecinan menggunakan konsep feng shui, yakni semacam ilmu atau metode yang digunakan untuk menganalisa sifat, bentuk, kondisi, dan situasi bumi yang menjadi lokasi/tempat manusia berada. Dengan berpedoman pada fengshui, maka pengaturan tata ruang baik interior maupun eksterior akan selaras dengan keseimbangan lingkungan dan alam. Dengan begitu, masyarakat pecinan akan merasa nyaman menempati bangunan hunian yang sudah sesuai dengan konsep feng shui ini. Untuk konsultasi mengenai feng shui itu sendiri, pada masyarakat pecinan ini percaya pada seseorang yang memang memiliki jasa sebagai ahli feng shui.
Menurut informasi yang kami peroleh, kawasan pecinan Semarang memiliki klenteng yang yang relatif banyak jumlahnya. Di hitung ada sekitar 8 klenteng, antara lain : kelenteng Tai Kak Sie/Gang Lombok (1771-1772) terletak di Gang Lombok, kelenteng Liong Hok Bio (1866) terletak di  selatan Gang Besen,  kelenteng  Ma Tjouw Kiong/ See Hoo Kiong (marga Liem dibangun tahun 1881), kelenteng Moa Phay Kee/Hoo Hok Bio (1782), kelenteng Tek Hay Bio/Kwee Lak Kwa (1756), kelenteng Tong Pek Bio (1782) terletak di Gang Pinggir, keleneteng Cap Kauw King/ Sioe Hok Bio (1753)  dan  kelenteng  Wie Wie Kiong (marga Tan dibangun pada 1814) terletak di Jl. Sebandaran. Dari 8 kelenteng ini, kami hanya dapat observasi di dua klenteng, yakni klenteng Tai Kak Sie/Gang Lombok (1771-1772) terletak di Gang Lombok dan klenteng ...
Dalam membangun klenteng ini, juga memperhitungkan pengunaan feng shui. Penerapan feng shui pada kelenteng tampak pada  lokasi penempatan  kelenteng yang berada di ujung – ujung jalan atau posisi ”tusuk sate”, yang dimaksudkan untuk membersihkan ch’i negatif atau energi buangan dari rumah-rumah yang ada di sepanjang jalan di depannya.  Pembangunan kelenteng pada ujung-ujung jalan dimaksudkan untuk menetralisir Penggunaan warna yang khas : Warna pada arsitektur Tionghoa mempunyai makna simbolik. Warna tertentu pada umumnya diberikan pada elemen yang spesifik pada sebuah bangunan. Meskipun banyak warna-warna yang digunakan, tapi warna merah dan kuning keemasan paling banyak dipakai dalam arsitektur Tionghoa di Indonesia. Warna merah banyak dipakai pada dekorasi interior, dan umumnya dipakai untuk warna pilar. Merah menyimbolkan warna api dan darah, yang dihubungkan dengan kemakmuran dan keberuntungan,selain itu merah juga simbol dari kebajikan, kebenaran dan ketulusan, serta sesuatu yang positif. Itulah mengapa, warna merah sering dipakai dalam arsitektur tionghoa. Bagi masyarakat Cina letak bangunan sangat penting karena menurut kepercayaan mereka dan menurut feng shui arah dan letak bangunan mempunyai makna baik dan buruk. Arah selatan dianggap sebagai arah yang paling  baik karena mendapat banyak sinar matahari. Sinar matahari mengandung unsur  yang (melambangkan kekuatan, keperkasaan, kejantanan, dan lain sebagainya), yang sangat dibutuhkan  dalam kehidupan manusia.
Unsur-unsur yang ada di dalam kelenteng harus disesuaikan dengan yang dan yin (kekuatan positif dan negatif), lima lambang struktur alam yaitu air, kayu, api, tanah, logam serta arah mata angin yang dilambangkan dengan binatang naga, macan, burung phoenix, kura-kura, ular, dan warna merah, biru/hijau, kuning, hitam.
Mengenai pemaknaan simbol-simbol seperti halnya yang telah terpapar di atas, hanya generasi cina yang sudah berumr senior saja yang dapat memberikan informasi seperti itu. Ketika kami bertanya pada masyarakat pecinanyang berumur relatif muda, mereka sama sekali tidak mengetahui mengenai pemaknaan simbolsimbol tersebut. 
»»  Read More...

Senin, 16 Januari 2012

Komunitas Masyarakat Indis di Kota Semarang

Pada abad ke-16, orang Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, tetapi kemudian menjadi penguasa di Indonesia. Pada awal kehadirannya, mereka mendirikan gudang-gudang (pakhuizen) untuk menimbun barang dagangan yang berupa rempah-rempah. Gudang-gudang itu berlokasi di Banten, Jepara, dan Jayakarta. Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang memiliki modal besar untuk mendirikan gudang penyimpan barang dagangan dan kantor dagang, kemudian memperkuatnya sebagai benteng pertahanan sekaligus sebagai tempat tinggal.
Kedatangan bangsa Belanda ini membawa unsur kebudayaan Barat dengan nilai- nilai yang terkandung pula. Sedangkan di Indonesia sendiri sudah terdapat budaya lokal atau pribumi yang telah lebih dulu ada di nusantara. Karena adanya proses interaksi, kemudian pada akhirnya akan menyebabkan persilangan kedua kebudayaan tersebut karena dipengaruhi banyak faktor. Faktor itu misalnya perkawinan bangsa Belanda dan pribumi, adanya pembauran, dan hal-hal lain yang bisa menyebabkan bertemunya kedua budaya tersebut. Persilangan budaya Barat/Belanda dan budaya lokal/Pribumi/Hindia kemudian menghasilkan satu jenis kebudayaan baru yaitu Kebudayaan Indis.
Kata “Indis” dalam berasal dari bahasa Belanda “Nederlandsch Indie” atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang di sebut Nederlandsch Oost Indie. Kebudayaan Indis secara umum adalah monumen estetis hasil budaya binaan (cultural construct) dan imajinasi kolektif, serta ekspresi kreatif sekelompok masyarakat di Hindia Belanda yang menggunakan dasar budaya Belanda dan Indonesia.
Di kota Semarang terdapat juga komunitas masyarakat Indis dan hasil kebudayaan yang ditinggalkannya. Semarang telah menjadi stategis di wilayah pesisir utara Pulau Jawa sejak penjajahan Belanda baik sebagai kota perdagangan maupun ibukota pemerintahan Kolonial Belanda. Peninggalan masyarakat Indis di Semarang dapat dijumpai di daerah kota Lama dan juga di daerah Mataram. Akan tetapi berdasarkan salah satu informan yang saya temui, pada saat sekarang ini komunitas Indis sudah banyak yang tidak bertempat tinggal di sekitar kota Lama, kebanyakan mereka sekarang tinggal di daerah Pekojan. Oleh karena itu saya melakukan kegiatan observasi dan wawancara mengenai komunitas masyarakat Indis dan observasi saya laksanakan pada tanggal 21 Desember 2011. Kajian dari observasi saya sendiri ialah mengenai stratifikasi sosial, sistem kekerabatan, bahasa/ dialek, serta simbol/ lambang komunitas masyarakat Indis. Adapun hasil observasi dan studi pustaka yang telah saya lakukan adalah sebagai berikut:
      A.    Stratifikasi sosial masyarakat Indis
Stratifikasi sosial merupakan pembedaaan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial secara vertikal yang diwujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Adanya stratifikasi sosial pada komunitas masyarakat Indis tidak lepas dari adanya pengaruh dari kebijakan pada masa penjajahan kolonial Belanda. Pada saat itu stratifikasi sosial yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah golongan pertama ditempati oleh orang Belanda dan orang asing ( kulit putih). Golongan kedua ditempati oleh orang timur asing, dan golongan ketiga ditempati oleh orang pribumi.
Sedangkan sebelum masa kolonial Belanda, masyarakat di Jawa sendiri juga sudah memiliki stratifikasi sosial secara tradisional. Stratifikasi sosial pada waktu itu menggunakan ukuran kedudukan jabatan di pemerintahan dengan tingkatan pada golongan pertama diduduki oleh raja. Golongan kedua diduduki oleh keluarga raja/ bangsawan. Pada golongan ketiga diduduki oleh para pejabat tinggi, pembantu pribadi/ pengikut raja. Golongan selanjutnya diduduki oleh kaum rohaniawan. Pada golongan yang terakhir diduduki oleh pejabat rendahan. Secara umum status sosial tertinggi dimiliki oleh raja dan bangsawan / keturunan raja, kemudian pejabat sipil, militer, agama, kehakiman, kecuali ulama istana, golongan tersebut yang disebut mantri.
Kelompok masyarakat utama yang terhormat (mijnheer) disebut “signores”, dan keturunannya disebut “sinyo”. Oleh orang pribumi, keturunan Belanda asli disebut “grad satu” atau “liplap”, sedangkan “grad dua” disebut “grobiak” dan “grad tiga” disebut “kasoedik”. Dalam penggunaan istilah di masyarakat, kata grobiak dan kasoedik lama kelamaan hilang. Golongan masyarakat tersebut,kecuali wong cilik merupakan pendukung kuat kebudayaan Indis. Selain wong cilik,para pedagang dan pengusaha keturunan Cina dan Arab banyak juga membangun rumah bergaya Indis. Masyarakat koloniual Hindia Belanda memiliki stuktur yang bersifat (semi) teodal.
Pada masa sekarang ini, stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat Indis saya kira saat ini tidak seradikal pada masa penjajahan kolonial Belanda. Stratifikasi social yang ada pada saat ini saya melihatnya lebih kepada perbedaan tingkat pendidikan dan juga gaya hidup. Pada segi pendidikan, sekarang ini prestise golongan masyarakat pribumi yang berpendidikan barat lambat laun menjadi makin kuat. Masyarakat yang termasuk keturunan Indis, terlebih mereka yang memiliki lulusan pendidikan yang tinggi, mereka akan mendapatkan posisi yang lebih terpandang dan terhormat di masyarakat.
Sedangkan gaya hidup masyarakat Indis termasuk  memiliki kehidupan yang mewah dan boros akibat keberasilan di bidang ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari tanda-tanda kebesaran sebagai lambing status sosial masyarakat Indis, seperti contohnya adalah memiliki bentuk rumah yang besar, pola kehidupan sehari-hari yang serba teratur, serta perayaan-perayaan peristiwa penting seperti upacara kelahiran, upacara pernikahan maupun upacara kematian yang lazim dilaksanakan secara besar-besaran.
      B.     Sistem bahasa/ dialek masyarakat Indis
Untuk penggunaan bahasa pada masyarakat Indis, sejak akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20, bahasa Melayu pasar mulai berbaur dengan bahasa Belanda. Menurut hasil observasi dan studi pustaka yang saya lakukan, di Semarang sendiri bahasa hasil campuran orang-orang Belanda dengan orang Jawa ini lazim disebut bahasa peotjuk atau petjoek. Selain itu, sempat pula muncul bahasa Javindo sebagai bahasa gaul yang digunakan untuk berkomunikasi dikalangan priyayi dan pejabat-pejabat dari kalangan pribumi serta kalangan Indo (peranakan Belanda-Pribumi). Kehadairan bangsa Belanda di Indonesia yang di lanjutkan dengan percampuran darah dan budaya memunculkan sekelompok masyarakat yang berdarah campuran.
Namun sayang ragam  bahasa Petjoek dan Javindo ini seiring berjalannya waktu, kedua bahasa ini menghilang seiring dengan penjajahan Jepang dan merdekanya Indonesia dari penjajahan Belanda tahun 1945. Untuk masa sekarang ini, kelompok-kelompok pengusung budaya Indis ini banyak yang kembali menuju Belanda atau negara lainnya. Sedangkan yang tertinggal secara berangsur terasimilasi dengan budaya baru yang tercipta pasca kemerdekaan. Oleh karena alasan itulah, saya hanya mendapatkan sedikit informasi mengenai sistem bahasa/ dialek pada masyarakat Indis.
      C.     Simbol dalam masyarakat Indis
Untuk menggali informasi mengenai symbol-simbol yang ada pada masyarakat Indis, observasi yang saya lakukan lebih banyak tertuju pada gedung-gedung tua, hasil peninggalan kebudayaan Indis. Umumnya rumah gaya Indis beragam hias sederhana. Peninggalan kebudayaan Indis yang ada di kota Semarang berupa gedung- gedung tua di sudut kota yang masih tetap berdiri kokoh hingga sekarang. Ketika saya memasuki kawasan kota Lama, saya melihat gedung-gedung tua yang sudah berdiri kokoh sejak zaman kolonial. Gedung-gedung tersebut antara lain Gereja Blenduk, Taman Sri Gunting, Marba, Roode Driehoek, Dorsumy dan masih banyak yang lainnya.

Gereja Blenduk terletak di Jalan Letjen Suprapto No.32. Merupakan bangunan yang memiliki gaya arsitektur Phantheon. Gereja ini didirikan pada tahun 1753 sebagai gereja pertama di Semarang dan telah dipugar pertama kalinya pada tahun 1894 oleh arsitek Belanda bernama HPA de Wilde dan Westmaas. Gereja ini disebut Gereja Blenduk karena bentuk kubahnya yang seperti irisan bola, sehingga orang mengatakan “mblenduk”. Bangunannya berbentuk segidelapan beraturan (hexagonal) dengan keunikan interiornya . Sebagai salah satu bangunan kuno di lingkungan Kota Lama yang banyak dikunjungi wisatawan dan sampai sekarang merupakan tempat ibadah umat nasrani.
Gedung Marba merupakan salah satu gedung tua peninggalan kebudayaan Indis. Gedung tua yang terletak di salah satu sudut kota lama, seberang Taman Srigunting, tepatnya Jalan Let. Jend. Suprapto No 33 Semarang ini dibangun pada pertengahan abad XIX. Bangunan ini terdiri 2 lantai dengan tebal dinding ± 20 cm. Bangunan ini berdiri sekitar pertengahan abad XIX. Pembangunan ini diprakarsai oleh MARTA BADJUNET, seorang warga negara Yaman yang merupakan seorang saudagar kaya pada zaman itu. Untuk mengenang jasanya bangunan itu dinamai singkatan namanya MARBA.
Gedung ini awalnya digunakan sebagai kantor usaha pelayaran, Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL). Selain sebagai kantor, gedung tersebut sempat pula digunakan untuk toko yang modern dan satu-satunya pada waktu itu, waktu itu tokonya bernama DE ZEIKEL. Setelah pensiun, perusahaan pelayarannya dipegang oleh anaknya MR MARZUKI BAWAZIR. Agak disayangkan gedung kuno yang eksotis ini saat ini tidak ada aktivitasnya dan digunakan untuk gudang.
Selain itu ada juga gedung-gedung tua yang pada zaman pemerintahan kolonial digunakan untuk gudang perdagangan dan juga kantor-kantor pemerintahan, kini difungsikan sebagai perkantoran dan juga restaurant. Seperti data yang saya peroleh, saya sempat mengambil gambar sebuah bangunan tua yang sekarang mejadi gudang dinas pendidikan provinsi Jawa Tengah. Menurut informasi yang saya peroleh, gedung yang dulunya bernama Dorsumy ini, pada zaman kolonial Belanda gedung ini dijadikan sebagai gudang roti. Baru pada tahun 1967, gedung ini dialih fungsikan sebagai gudang dinas pendidikan.


»»  Read More...