Senin, 16 Januari 2012

Komunitas Masyarakat Indis di Kota Semarang

Pada abad ke-16, orang Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, tetapi kemudian menjadi penguasa di Indonesia. Pada awal kehadirannya, mereka mendirikan gudang-gudang (pakhuizen) untuk menimbun barang dagangan yang berupa rempah-rempah. Gudang-gudang itu berlokasi di Banten, Jepara, dan Jayakarta. Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang memiliki modal besar untuk mendirikan gudang penyimpan barang dagangan dan kantor dagang, kemudian memperkuatnya sebagai benteng pertahanan sekaligus sebagai tempat tinggal.
Kedatangan bangsa Belanda ini membawa unsur kebudayaan Barat dengan nilai- nilai yang terkandung pula. Sedangkan di Indonesia sendiri sudah terdapat budaya lokal atau pribumi yang telah lebih dulu ada di nusantara. Karena adanya proses interaksi, kemudian pada akhirnya akan menyebabkan persilangan kedua kebudayaan tersebut karena dipengaruhi banyak faktor. Faktor itu misalnya perkawinan bangsa Belanda dan pribumi, adanya pembauran, dan hal-hal lain yang bisa menyebabkan bertemunya kedua budaya tersebut. Persilangan budaya Barat/Belanda dan budaya lokal/Pribumi/Hindia kemudian menghasilkan satu jenis kebudayaan baru yaitu Kebudayaan Indis.
Kata “Indis” dalam berasal dari bahasa Belanda “Nederlandsch Indie” atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang di sebut Nederlandsch Oost Indie. Kebudayaan Indis secara umum adalah monumen estetis hasil budaya binaan (cultural construct) dan imajinasi kolektif, serta ekspresi kreatif sekelompok masyarakat di Hindia Belanda yang menggunakan dasar budaya Belanda dan Indonesia.
Di kota Semarang terdapat juga komunitas masyarakat Indis dan hasil kebudayaan yang ditinggalkannya. Semarang telah menjadi stategis di wilayah pesisir utara Pulau Jawa sejak penjajahan Belanda baik sebagai kota perdagangan maupun ibukota pemerintahan Kolonial Belanda. Peninggalan masyarakat Indis di Semarang dapat dijumpai di daerah kota Lama dan juga di daerah Mataram. Akan tetapi berdasarkan salah satu informan yang saya temui, pada saat sekarang ini komunitas Indis sudah banyak yang tidak bertempat tinggal di sekitar kota Lama, kebanyakan mereka sekarang tinggal di daerah Pekojan. Oleh karena itu saya melakukan kegiatan observasi dan wawancara mengenai komunitas masyarakat Indis dan observasi saya laksanakan pada tanggal 21 Desember 2011. Kajian dari observasi saya sendiri ialah mengenai stratifikasi sosial, sistem kekerabatan, bahasa/ dialek, serta simbol/ lambang komunitas masyarakat Indis. Adapun hasil observasi dan studi pustaka yang telah saya lakukan adalah sebagai berikut:
      A.    Stratifikasi sosial masyarakat Indis
Stratifikasi sosial merupakan pembedaaan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial secara vertikal yang diwujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Adanya stratifikasi sosial pada komunitas masyarakat Indis tidak lepas dari adanya pengaruh dari kebijakan pada masa penjajahan kolonial Belanda. Pada saat itu stratifikasi sosial yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah golongan pertama ditempati oleh orang Belanda dan orang asing ( kulit putih). Golongan kedua ditempati oleh orang timur asing, dan golongan ketiga ditempati oleh orang pribumi.
Sedangkan sebelum masa kolonial Belanda, masyarakat di Jawa sendiri juga sudah memiliki stratifikasi sosial secara tradisional. Stratifikasi sosial pada waktu itu menggunakan ukuran kedudukan jabatan di pemerintahan dengan tingkatan pada golongan pertama diduduki oleh raja. Golongan kedua diduduki oleh keluarga raja/ bangsawan. Pada golongan ketiga diduduki oleh para pejabat tinggi, pembantu pribadi/ pengikut raja. Golongan selanjutnya diduduki oleh kaum rohaniawan. Pada golongan yang terakhir diduduki oleh pejabat rendahan. Secara umum status sosial tertinggi dimiliki oleh raja dan bangsawan / keturunan raja, kemudian pejabat sipil, militer, agama, kehakiman, kecuali ulama istana, golongan tersebut yang disebut mantri.
Kelompok masyarakat utama yang terhormat (mijnheer) disebut “signores”, dan keturunannya disebut “sinyo”. Oleh orang pribumi, keturunan Belanda asli disebut “grad satu” atau “liplap”, sedangkan “grad dua” disebut “grobiak” dan “grad tiga” disebut “kasoedik”. Dalam penggunaan istilah di masyarakat, kata grobiak dan kasoedik lama kelamaan hilang. Golongan masyarakat tersebut,kecuali wong cilik merupakan pendukung kuat kebudayaan Indis. Selain wong cilik,para pedagang dan pengusaha keturunan Cina dan Arab banyak juga membangun rumah bergaya Indis. Masyarakat koloniual Hindia Belanda memiliki stuktur yang bersifat (semi) teodal.
Pada masa sekarang ini, stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat Indis saya kira saat ini tidak seradikal pada masa penjajahan kolonial Belanda. Stratifikasi social yang ada pada saat ini saya melihatnya lebih kepada perbedaan tingkat pendidikan dan juga gaya hidup. Pada segi pendidikan, sekarang ini prestise golongan masyarakat pribumi yang berpendidikan barat lambat laun menjadi makin kuat. Masyarakat yang termasuk keturunan Indis, terlebih mereka yang memiliki lulusan pendidikan yang tinggi, mereka akan mendapatkan posisi yang lebih terpandang dan terhormat di masyarakat.
Sedangkan gaya hidup masyarakat Indis termasuk  memiliki kehidupan yang mewah dan boros akibat keberasilan di bidang ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari tanda-tanda kebesaran sebagai lambing status sosial masyarakat Indis, seperti contohnya adalah memiliki bentuk rumah yang besar, pola kehidupan sehari-hari yang serba teratur, serta perayaan-perayaan peristiwa penting seperti upacara kelahiran, upacara pernikahan maupun upacara kematian yang lazim dilaksanakan secara besar-besaran.
      B.     Sistem bahasa/ dialek masyarakat Indis
Untuk penggunaan bahasa pada masyarakat Indis, sejak akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20, bahasa Melayu pasar mulai berbaur dengan bahasa Belanda. Menurut hasil observasi dan studi pustaka yang saya lakukan, di Semarang sendiri bahasa hasil campuran orang-orang Belanda dengan orang Jawa ini lazim disebut bahasa peotjuk atau petjoek. Selain itu, sempat pula muncul bahasa Javindo sebagai bahasa gaul yang digunakan untuk berkomunikasi dikalangan priyayi dan pejabat-pejabat dari kalangan pribumi serta kalangan Indo (peranakan Belanda-Pribumi). Kehadairan bangsa Belanda di Indonesia yang di lanjutkan dengan percampuran darah dan budaya memunculkan sekelompok masyarakat yang berdarah campuran.
Namun sayang ragam  bahasa Petjoek dan Javindo ini seiring berjalannya waktu, kedua bahasa ini menghilang seiring dengan penjajahan Jepang dan merdekanya Indonesia dari penjajahan Belanda tahun 1945. Untuk masa sekarang ini, kelompok-kelompok pengusung budaya Indis ini banyak yang kembali menuju Belanda atau negara lainnya. Sedangkan yang tertinggal secara berangsur terasimilasi dengan budaya baru yang tercipta pasca kemerdekaan. Oleh karena alasan itulah, saya hanya mendapatkan sedikit informasi mengenai sistem bahasa/ dialek pada masyarakat Indis.
      C.     Simbol dalam masyarakat Indis
Untuk menggali informasi mengenai symbol-simbol yang ada pada masyarakat Indis, observasi yang saya lakukan lebih banyak tertuju pada gedung-gedung tua, hasil peninggalan kebudayaan Indis. Umumnya rumah gaya Indis beragam hias sederhana. Peninggalan kebudayaan Indis yang ada di kota Semarang berupa gedung- gedung tua di sudut kota yang masih tetap berdiri kokoh hingga sekarang. Ketika saya memasuki kawasan kota Lama, saya melihat gedung-gedung tua yang sudah berdiri kokoh sejak zaman kolonial. Gedung-gedung tersebut antara lain Gereja Blenduk, Taman Sri Gunting, Marba, Roode Driehoek, Dorsumy dan masih banyak yang lainnya.

Gereja Blenduk terletak di Jalan Letjen Suprapto No.32. Merupakan bangunan yang memiliki gaya arsitektur Phantheon. Gereja ini didirikan pada tahun 1753 sebagai gereja pertama di Semarang dan telah dipugar pertama kalinya pada tahun 1894 oleh arsitek Belanda bernama HPA de Wilde dan Westmaas. Gereja ini disebut Gereja Blenduk karena bentuk kubahnya yang seperti irisan bola, sehingga orang mengatakan “mblenduk”. Bangunannya berbentuk segidelapan beraturan (hexagonal) dengan keunikan interiornya . Sebagai salah satu bangunan kuno di lingkungan Kota Lama yang banyak dikunjungi wisatawan dan sampai sekarang merupakan tempat ibadah umat nasrani.
Gedung Marba merupakan salah satu gedung tua peninggalan kebudayaan Indis. Gedung tua yang terletak di salah satu sudut kota lama, seberang Taman Srigunting, tepatnya Jalan Let. Jend. Suprapto No 33 Semarang ini dibangun pada pertengahan abad XIX. Bangunan ini terdiri 2 lantai dengan tebal dinding ± 20 cm. Bangunan ini berdiri sekitar pertengahan abad XIX. Pembangunan ini diprakarsai oleh MARTA BADJUNET, seorang warga negara Yaman yang merupakan seorang saudagar kaya pada zaman itu. Untuk mengenang jasanya bangunan itu dinamai singkatan namanya MARBA.
Gedung ini awalnya digunakan sebagai kantor usaha pelayaran, Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL). Selain sebagai kantor, gedung tersebut sempat pula digunakan untuk toko yang modern dan satu-satunya pada waktu itu, waktu itu tokonya bernama DE ZEIKEL. Setelah pensiun, perusahaan pelayarannya dipegang oleh anaknya MR MARZUKI BAWAZIR. Agak disayangkan gedung kuno yang eksotis ini saat ini tidak ada aktivitasnya dan digunakan untuk gudang.
Selain itu ada juga gedung-gedung tua yang pada zaman pemerintahan kolonial digunakan untuk gudang perdagangan dan juga kantor-kantor pemerintahan, kini difungsikan sebagai perkantoran dan juga restaurant. Seperti data yang saya peroleh, saya sempat mengambil gambar sebuah bangunan tua yang sekarang mejadi gudang dinas pendidikan provinsi Jawa Tengah. Menurut informasi yang saya peroleh, gedung yang dulunya bernama Dorsumy ini, pada zaman kolonial Belanda gedung ini dijadikan sebagai gudang roti. Baru pada tahun 1967, gedung ini dialih fungsikan sebagai gudang dinas pendidikan.


1 komentar:

Unknown mengatakan...

If you're attempting to lose kilograms then you certainly need to get on this brand new tailor-made keto meal plan.

To create this service, certified nutritionists, fitness trainers, and cooks have joined together to develop keto meal plans that are powerful, suitable, price-efficient, and enjoyable.

From their launch in 2019, thousands of people have already completely transformed their body and well-being with the benefits a good keto meal plan can provide.

Speaking of benefits; in this link, you'll discover eight scientifically-confirmed ones provided by the keto meal plan.

Posting Komentar