Selasa, 29 November 2011

Fenomena Gender

Konsep gender merupakan pensifatan yang melekat pada manusia baik kaum laki-laki ataupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural oleh masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat, banyak sekali kita menjumpai fenomena-fenomena yang berbias gender, namun terkadang kita tidak pernah menyadarinya.

Berikut ini saya kutipkan sebuah fenomena atau persoalan gender yang ada dimasyarakat kita sekarang ini. Fenomena tersebut berkaitan dengan tingkat pendidkan kaum perempuan, dimana sebagian besar perempuan yang ada di Indonesia ini memilki tingkat pendidikan yang masih rendah, meskipun ada segelintir sosok perempuan yang berani tampil dengan gelar pendidikannya yang tinggi, namun disisi lain masih  ada kaum perempuan yang berpendidikan rendah atau bakhan mereka belum pernah mengeyam pendidikan sama sekali.

Artikel ini saya ambil dari sebuah forum diskusi yang bernama “ketahuilah.com”. Artikel ini dipotingkan oleh pengirimnya pada hari Senin 2 Agustus 2010 (Monday, August 2, 2010).
Kesenjangan pendidikan bagi perempuan dan lelaki nyatanya masih ada. Meski partisipasi perempuan dalam pendidikan sudah membaik, namun jumlah perempuan dalam pendidikan tinggi masih lebih sedikit daripada lelaki. Tak heran, profesi tertentu, seperti peneliti misalnya, juga masih didominasi lelaki karena kesempatan bersekolah masih lebih sedikit bagi perempuan.

Data partisipasi sekolah bagi perempuan disampaikan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam acara temu kangen para penerima anugerah (fellows) L'Oreal Indonesia for Women in Science 2004-2009, di Jakarta, Jumat (31/7/2010) lalu,.

Menurut Prof Dr Arief Rachman MPd, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), terdapat lima masalah pada perempuan yang menghalangi perempuan untuk mengenyam pendidikan dan berkarier. Masalah ini perlu diatasi agar kesempatan berpendidikan dan pilihan profesi perempuan semakin tinggi, termasuk menjadi peneliti.

1. Kultur yang menomorduakan perempuan
Arief mengungkapkan, perempuan Indonesia punya semangat tinggi untuk berpendidikan, namun masih sangat menghormati kultur patriarki. Kultur yang terinternalisasi di masyarakat inilah, yang lantas membuat perempuan dinomorduakan untuk akses pendidikan. Sayangnya, kultur ini juga diikuti dan bahkan diterima oleh masyarakat luas sebagai sesuatu yang wajar, bahkan oleh perempuan itu sendiri.

2. Sistem struktur sekolah kurang memberikan kesempatan bagi perempuan
Banyak pendapat masyarakat yang menunjukkan perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Perempuan hanya diberi porsi berbagai peran domestik, di rumah tangga. Lebih berbahayanya, virus ini masih juga meluas di sekolah.

"Pendapat yang mengatakan perempuan tak perlu sekolah tinggi menjadi virus yang masih menyebar di sekolah, dalam sistem struktur sekolah," papar Arief kepada Kompas Female, usai acara temu kangen para fellow.

3. Lemahnya kesetaraan gender
Kesetaraan gender belum diusung berbagai kebijakan yang ada pada lembaga negara. Akhirnya perwujudan kesetaraan gender masih lemah. Diperlukan resolusi politik yang mendukung dan mengusung kesetaraan gender yang tertuang dalam kebijakan lembaga negara.

"Peraturan di daerah misalnya, masih banyak yang belum mengusung kesetaraa dan keadilan gender dari segi gaji perempuan dan lelaki. Cuti kepada lelaki saat istri melahirkan juga belum diusung dalam peraturan daerah, padahal peran ayah dibutuhkan pada masa melahirkan," papar Arief.

4. Manajemen rumah tangga belum seimbang, perempuan lebih mengalah
Perempuan cenderung mengalah untuk mengurus anak dan keluarga. Akhirnya, keinginan untuk meraih gelar S2 atau S3, misalnya, tertunda atau bahkan dibatalkan demi peran sebagai ibu.

Arief menegaskan, dengan adanya manajemen rumah tangga yang lebih baik, perempuan dan lelaki memiliki kesempatan yang sama. Baik dalam mengurus rumah tangga maupun dalam mengembangkan dirinya. Untuk bersekolah, misalnya.

5. Kesepakatan pasangan yang melemahkan perempuan
Saat masih berpasangan, pada kasus tertentu, kata Arief, masih terdapat perempuan yang terbatasi untuk mengembangkan diri. Misalnya, pria akan menikahinya, dengan memberi syarat ia harus mengurus rumah tangga saja.

Kesepakatan pasangan yang dibuat sebelum menikah, bahkan menjadi syarat menikah, lantas membuat perempuan terbatasi geraknya. Masalah semacam ini tidak lantas terjadi pada setiap orang, dan sifatnya berbeda setiap kasus. Prinsipnya, ada kesepakatan tertentu yang dibuat untuk perempuan yang kemudian membatasi ruang gerak dan kemandiriannya untuk berkembang.

»»  Read More...

“Peran Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA) dalam Proses Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration (DDR) di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki 2005"



Dalam jurnal yang berjudul “Peran Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA) dalam Proses Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration (DDR) di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki 2005” karangan Fakhrurrazi (Dosen Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh) memang banyak mengandung nilai-nilai sosial politik di dalamnya. Tentu saja hal ini menarik untuk saya review ulang kembali dalam perspektif ilmu sosiologi yang nantinya bisa kita kaitkan dengan teori-teori yang mendukung, yaitu teori konflik maupun teori integrasi.
Dipaparkan dalam jurnal tersebut bahwa setelah terjadinya bencana alam tsunami di Aceh yang telah menelan banyak korban jiwa membuat petinggi GAM dan pihak RI untuk saling membuka pintu damai. Hal ini dibuktikan dengan terlaksananya Nota Kesepakatan di Helsinki yang merupakan prestasi gemilang yang telah dicapai oleh kedua belah pihak, yaitu antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dengan Nota Kesepakatan inilah menjadi poin awal untuk menacapai Aceh yang aman, damai, adil dan sejahtera dengan melaksanakan seluruh butir-butir Nota Kesepakatan secara benar dan utuh oleh pihak-pihak yang bertikai selama ini. Namun, sejalan dengan waktu, perdamaian yang telah dicapai oleh kedua belah pihak ini masih meninggalkan masalah yang berkaitan dengan bekas anggota GAM itu sendiri. Salah satu masalah dan kendala yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia ialah masalah mekanisme penyaluran dana reintegrasi kepada mantan anggota GAM (eks kombatan GAM). Pemerintah menghendaki adanya transparasi penyaluran dana tersebut yaitu dengan langsung memberikan kepada para eks kombatan GAM setelah mereka mendaftarkan dirinya ke Dinas Sosial setempat. Akan tetapi GAM menolak cara ini. GAM menginginkan caranya tersendiri, yaitu mantan komandan GAM hanya menyerahkan jumlah mantan anggota GAM (eks kombatan) kepada Dinas Sosial tanpa menyertakan nama-namanya. Akhirnya, pihak pemerintah mengalah, dan menuruti pihak GAM. Namun, kesepakatan dan perdamaian yang telah tercapai antara GAM dan pemerintah RI masih menyisakan permasalahan-permasalahan yang lainnya pada para eks kombatan GAM. Maka pemerintah membentuk suatu program yang mungkin nantinya bisa menyelesaikan masalah ini, progaram itu bernama DDR (Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration). Nah, tujuan dari sebuah proses DDR itu sendiri berkaitan dengan faktor keamanan yang ada di Aceh. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, proses ini banyak sekali mengalami hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan itu diantaranya di bidang ekonomi, di bidang Polhukam (Politik, hukum dan keamanan) maupun di bidang sosial budaya. Dalam bidang ekonomi, konflik bersenjata mengakibatkan kerusakan dan kerugian infrastruktur fisik, sosial maupun ekonomi. Hal ini akan berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat Aceh yang menurun yang nantinya akan berdampak pula pada tingginya tingkat pengangguran. Inilah salah satu tantangan DDR yang harus dihadapi. Dalam bidang Polhukam, hambatan yang ada yaitu program DDR kekurangan alat-alat untuk menegakkan aturan karena tidak adanya angkatan kepolisian pada saat dilaksanakannya DDR tersebut. Dan dalam bidang sosila budaya, hambatannya lebih mengarah pada bagaimana para mantan anggota GAM dapat memperoleh manfaat dari pekerjaan yang sudah mereka ciptakan dan keinginan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Selain program DDR (Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration), pemerintah juga membetuk suatu badan untuk menunjang pelaksanaan program DDR dan proses reintegrasi di Aceh, badan tersebut bernama BRDA (Badan Reintegrasi Damai Aceh). Badan ini merupakan salah satu kunci yang dapat menyelasaikan persoalan proses reintegrasi di Aceh. Namun, lagi-lagi dalam proses pelaksanaannyaBRDA ternyata relative kurang optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya BRDA dianggap sebagai lembaga yang tidak jelas payung hukumnya, BRDA belum bisa mengelola anggaran sendiri, dan yang terakhir BRDA belum segera menyelesaikan cetak-biru perdamaian dan pembangunan, yang notabene cetak-biru ini merupakan petunjuk sudah sampai mana proses perdamaian berlangsung. Inilah hambatan-hambatan yang ada, yang menjadi titik perhatian pemerintah pusat untuk segera ditanggapi dan segera ditindaklanjuti secara bijaksana dan terarah.
Dari penjabaran review jurnal di atas, menurut hemat saya masalah yang terdapat didalamnya dapat kita kaitkan dengan teori Konflik. Teori Konflik yang saya gunakan adalah Teorinya Lewis A. Coser. Menurut teori Coser, bahwa konflik tidak selamanya mendatangkan kerusakan dan kerugian infrastruktur baik fisik, sosial maupun ekonomi. Akan tetapi dengan adanya konflik juga memberikan dampak posif bagi mereka yang berkonflik. Dengan adanya konflik antara pemerintah RI dengan GAM Gerakan Aceh Merdeka), menyebabkan kedua belah pihak saling berdamai atau berintegrasi. Ini dibuktikan dengan adanya Nota Kesepakatan Damai antara pihak pemerintah RI dengan GAM itu sendiri. Nah, inilah yang dimaksud bahwa konflik dapat menimbulkan suatu integrasi diantara keduabelah pihak yang berkonflik. Integrasi antara GAM dan pemerintah RI tidak akan terjadi apabila tidak ada konflik yang melatarbelakanginya. Selain itu, menurut Coser, konflik juga dapat meningkatkan solidaritas internal dan integrasi kelompok. Begitu juga halnya konflik GAM di Aceh, dengan adanya konflik setiap anggota GAM selalu kompak dengan sesama anggotanya. Solidarits antara anggota GAM itu semakin kuat ketika GAM mendapatkan berbagai macam gempuran dan serangan dari pihak pemerintah RI. Begitu juga ketika komandan GAM menyatakan damai dengan pihak pemerintah RI, seluruh kombatannya (pasukannya) pun bersedia mengikutinya. Inilah sutu hal positif dari adanya konflik bahwa setiap anggota kelompoknya saling kompak satu sama lain sehingga membentuk suatu integrasi kelompok.
Dalam teorinya, Coser juga mengenalkan dengan adanya Katup Penyelamat dalam suatu konflik. Katup penyelamat ini merupakan jalan keluar dari adanya suatu permusuhan maupun sutu konflik. Katup penyelamat juga merupakan suatu wadah untuk menyampaikan aspirasi anggota-anggota yang berkonflik. Nah, apabila kita kaitkan dengan penyelesaian konflik antara pemerintah RI dengan GAM, maka yang menjadi katup penyelamat dalam konflik antara keduabelah pihak adalah lembaga-lembaga yang mengakomodasi kepentingan kedua kelompok tersebuta, yang pada akhirnya lembaga tersebut menghasilkan sebuah Nota Perjanjian Damai yang telah ditandatangani dan disepakati oleh pihak pemerintah RI maupun pihak GAM di  Smona, The Government Banquet Hall, Etalaesplanadi 6, Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005. Dengan adanya Nota Kesepakatan ini, berati antara kedua belah pihak harus benar-benar mau melaksanakan setiap butir-butir kesepakatan yang telah disepakati bersama. Nah, untuk mendukung jalannya integrasi Aceh itu sendiri, maka pemerintah RI membentuk suatu badan untuk mengawasi jalannya reintegrasi di Aceh yaitu dengan nama Badan Reintegrasi Damai Aceh. Itulah salah satu bukti nyata keseriusan bahwa antara pihak pemerintah RI dengan GAM benar-benar sudah dami. Dan hal itu juga menjadi salah satu bentuk katup penyelamat dari konflik tersebut.


Sumber: Jurnal Komunitas Vol. 4 No. 2, September 2010

»»  Read More...